Faith ñ hope

2008/07/12

Refleksi Sebuah Kisah Pohon Apel

Ikhwah fillah...
Pada saat ana membuka komputer dan membuka folder pribadi, myLibrary, tersimpan banyak artikel, bahan bacaan, buku dan lain-lain. Dan kebanyakan yang ana punya tentang Islam. Semuanya ana dapat dari teman-teman dan hasil browsing dari internet. Ana klik file kisah-kisah, penasaran kemudian ana coba membuka judul “Kisah Pohon Apel”, padahal melihat judulnya saja ana kurang begitu tertarik karena ana kurang suka membaca dongeng, apalagi dongeng anak-anak sebelum tidur.
Tetapi kali ini ana penasaran ingin membacanya, sekedar menambah wawasan mungkin ada kandungan hikmah yang bisa diambil. Setelah ana baca dan Subhanallah…
Ternyata kisah tersebut sangat menyentuh untuk dijadikan sebuah renungan. Sehingga dapat merubah sikap ana.
Sekedar berbagi pada akhi dan ukhti maka kisah tersebut ana edit karena menggunakan bahasa Melayu. Mari kita simak kisah tersebut dengan rasa ikhlas untuk membiasakan diri selalu besikap baik.
***
Dahulu kala terdapat seorang anak lelaki dan sebatang pohon apel yang amat besar. Anak lelaki itu begitu gemar bermain-main di sekitar pohon apel tersebut Setiap hari dia memanjat pohon tersebut, memetik serta memakan apel dengan sepuas hatinya, dan adakalanya dia beristirahat lalu terlelap di batang pohon apel tersebut. Anak lelaki tersebut begitu menyayangi tempat bermainnya. Begitu juga pohon apel itu juga menyukai anak tersebut.
Masa berlalu...
Anak lelaki itu sudah besar dan menjadi seorang remaja. Dia tidak lagi menghabiskan waktunya setiap hari bermain di sekitar pohon apel tersebut. Namun suatu hari dia datang kepada pohon apel tersebut dengan wajah yang sedih.
"Marilah bermain-main di sekitarku", ajak pohon apel itu.
" Aku bukan lagi anak-anak, aku tidak lagi gemar bermain dengan engkau", jawab remaja itu.
"Aku tidak perlu permainan tapi yang aku perlukan uang untuk membeli mainan", tambah remaja itu dengan nada yang sedih. Lalu pohon apel itu berkata:
“Kalau begitu petiklah apel-apel yang ada padaku. Kemudian jual lah untuk mendapatkan uang. Dengan itu kau dapat membeli mainan yang kau inginkan".
   Remaja itu dengan gembiranya memetik semua apel dipohon itu dan pergi dari situ. Dia tidak kembali lagi selepas itu. Pohon apel itu merasa sedih.
Masa berlalu...
Suatu hari, remaja itu kembali. Dia semakin dewasa. Pohon apel itu merasa gembira.
"Marilah bermain-main di sekitarku", ajak pohon apel itu.
"Aku tidak ada waktu untuk bermain. Aku terpaksa bekerja untuk mendapatkan uang. Aku ingin membina rumah sebagai tempat perlindungan untuk keluargaku. Bolehkahkau menolongku?" Tanya anak itu."
“Maafkan aku, aku tidak mempunyai rumah. Tetapi kau boleh memotong dahan-dahanku yang besar ini dan kau buatlah rumah darinya". Pohon apel itu memberikan tawaran.
Lalu, remaja yang semakin dewasa itu memotong semua dahan pohon apel itu dan pergi dengan gembiranya. Pohon apel itu pun turut gembira tetapi kemudian ia merasa sedih karena remaja itu tidak kembali lagi setelah itu.
Suatu hari yang panas, seorang lelaki datang menemui pohon apel itu. Sebenarnya dia adalah anak lelaki yang pernah bermain-main dengan pohon apel itu. Dia telah matang dan dewasa.
"Marilah bermain-main di sekitarku", ajak pohon apel itu
"Maafkan aku, tetapi aku bukan lagi anak lelaki yang suka bermain-main di sekitarmu. Aku sudah dewasa. Aku mempunyai cita-cita untuk belayar. Malangnya, aku tidak mempunyai perahu. Apakah kau bisa menolongku?", Tanya lelaki itu.
"Aku tidak mempunyai perahu untuk diberikan kepada kau. Tetapi kau boleh memotong batang pohon ini untuk dijadikan perahu. Kau akan dapat belayar dengan gembira," kata pohon apel itu.
Lelaki itu merasa senang sekali dan menebang batang pohon apel itu. Kemudian dia pergi dari situ dengan gembiranya dan tidak kembali lagi setelah itu.
Namun pada suatu hari, ada seorang lelaki yang sudah tua datang menuju pohon apel itu. Dia adalah anak lelaki yang pernah bermain di sekitar pohon apel itu.
"Maafkan aku. Aku tidak ada apa-apa lagi untuk diberikan kepada engkau. Aku sudah memberikan buah ku untuk kau jual, dahanku untuk kau buat rumah, batangku untuk kau buat perahu. Aku hanya ada tunggul dengan akar yang hampir mati". Kata pohon apel itu dengan nada pilu.
Aku tidak mau apelmu karena aku sudah tidak ada gigi untuk memakannya, aku tidak mau dahanmu karena aku sudah tua untuk memotongnya, aku tidak mau batang pohonmu karena aku tidak belayar lagi, aku merasa lelah dan ingin istirahat," jawab lelaki tua itu.
Jika begitu, istirahatlah di batangku," kata pohon apel itu.
Lalu lelaki tua itu duduk beristirahat di batang pohon apel itu dan beristirahat. Mereka berdua menangis karena begitu gembiranya.
 
Sebenarnya, pohon apel yang dimaksudkan dalam kisah itu adalah kedua ibu bapak kita. Ketika kita masih kecil, kita suka bermain dengan mereka. Ketika kita meningkat remaja, kita perlukan bantuan mereka untuk meneruskan hidup. Kita tinggalkan mereka dan hanya kembali meminta pertolongan apabila kita didalam kesusahan. Namun, mereka tetap menolong kita asalkan kita dapat bahagia dan gembira, bahkan mereka rela “melakukan apa saja” demi anaknya. Kita mungkin berfikir bahwa anak lelaki pada kisah itu bersikap kejam terhadap pohon apel itu, tetapi fikirkanlah, itu hakikat sebenarnya bagaimana kebanyakan anak-anak masa kini melayani ibu bapak mereka. Jangan sampai kita durhaka hanya karena kata-kata “ah” atau “cih”. Hargailah jasa mereka. Taati dan hormatilah mereka. Coba kita renungkan sekali lagi.
Allahummafirlana wa liwalidina…
Warhamhum kamaa rabbayana sighara…
Amin…

Tidak ada komentar: